Jumat, 02 November 2012

perkembangsan seni pertunjukan


“Perkembangan Seni Pertunjukan Di Indonesia”

1.      Zaman Primitif
Berdasarkan hasil penelitian para pakar seni bahwa beberapa jenis  tari di indonesia yang tergolong seni primitif adalah Gordang Sambilan dari Batak, Topeng Hudog dari Kalimantan Timur, dari Bali misalnya tari barong seperti Barong Brutuk, Barong Ket, Rejang tenganan dan berbagai Tari Sanghyang. Dari Jawa adalah tari Kuda Kepang atau Jaran Kepan (apabila penarinya tidak sadarkan diri akan memakan beling (pecahan kaca).
·        Ciri–ciri kesenian pada zaman primitif, antara lain :
a.      Gerakan sangat sederhana dan lebih mengutamakan improvisasi
b.      Belum ada iringan gamelan, untuk iringan tari dengan sorak sorai, nyanyian dan tepukan tangan
c.      Desain lantai lebih banyak berbentuk lingkaran
d.      Di beberapa daerah sebagai pertunjukan jalanan (Jawa dan Bali)
e.      Dilakukan oleh orang – orang pilihan, (contohnya : di Bali)
f.        Unsur tak sadarkan diri (trance) dan magis sangat kuat .

2.      Zaman Masyarakat Feodal
Zaman masyarakat feodal dibagi menjadi Zaman Indonesia Hindu, Zaman Indonesia Islam, Zaman Invasi bangsa Barat, dan Zaman Pergerakan Indonesia. Pada Zaman ini pertumbuhan Kebudayaan nampak bertambah baik, walaupun hasil – hasil kebudayaan tersebut untuk kepentingan golongan tertentu dan kepentingan keagamaan. Di Samping itu corak masyarakat dari berbagai suku pada masing – masing zaman itu juga sangat mempengaruhi perkembangan Seni Pertunjukan (Tari) di Indonesia.

a.      Zaman Indonesia Hindu
Zaman ini dimulai sejak datangnya pedagang–pedagang india yang kemudian berbaur dan kawin dengan penduduk asli Indonesia dan melahirkan kebudayaan Indonesia Hindu yang didalamnya masih terpelihara dengan baik unsur – unsur kebudayaan Indonesia asli.
Satu hal yang sangat penting pada zaman itu adalah Kehidupan Kerohanian dengan ditemukannya peninggalan puluhan candi-candi sebagai monumen keagamaan. Salah satu seni pertunjukan yang penting pada zaman ini adalah tari. Tari menjadi salah satu bagian yang penting dalam upacara keagamaan yang dapat dilihat pada relief–relief candi yang menggambarkan penari–penari yang diiringi bermacam-macam instrumen musik.
Selain tari khusus keagamaan, pada zaman ini ada pula tari yang difungsikan untuk menghibur, yaitu ronggeng. Tari Ronggeng digambarkan sebagai penari wanita, terpahat pada candi Dieng, Borobudur dan Prambanan (abad VIII). Dalam perkembangan selanjutnya ronggeng dipelihara oleh para bangsawan Jawa makin diperhalus hingga menjelma menjadi tari-tarian yang bernilai artistik, seperti Gambyong, Golek dan Bondan. Sedangkan Ronggeng yang berkembang di kalangan rakyat jelata tetap bernama ronggeng, atau dengan sebutan lain Ledek atau tledek. Tari Ronggeng yang menari bersama penari laki-laki yang datang dari penonton di Jawa Tengah disebut Tayub.
Pada Zaman ini banyak sastrawan yang menggubah satra Mahabrata dan Ramayana sehingga kedua epos tersebut telah menjadi milik Indonesia. Kedua epos ini sangat penting bagi perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia khususnya Bali dan Jawa yang selalu menggunakan kedua epos ini kedalam bentuk seni pertunjukan. Begitu pula dengan alat musik iringan seperti gendang, gambang, dan suling yang telah mengiringi tari-tarian. Selain itu berkembang pula Dramatari Wayang Wwang (Dramatari Topeng) yang memakai lakon cerita Mahabrata dan Ramayana. Pada umumnya penari berasal dari keluarga bangsawan dalam tembok istana.

b.      Zaman Indonesia Islam
Zaman ini diawali dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra Utara pada akhir abad XIII dan kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram di Jawa, pertumbuhan seni pertunjukan tidak terganggu. Bahkan seringkali seni tari dan gamelan dipakai alat daya tarik untuk mengumpulkan orang-orang agar mau mendengarkan khotba-khotbah tentang ajaran agama Islam. Perkembangan seni tari di Jawa Tengah pada Zaman ini nampak lebih pesat dalam masa pemerintahan Sultan agung sebagai raja Mataram Islam.
Jenis tarian yang muncul pada zaman ini (Jawa) adalah tari Serimpi dan Bedhaya sebagai tarian wanita halus, tari Beksan atau wireng merupakan komposisi tari untuk laki-laki yang menggambarkan ketangkasan berperang. Salah satu tarian sakral yang dipelihara baik sampai sekarang dan dipentaskan pada waktu tertentu saja serta diwarisi oleh raja-raja Sultan Agung adalah Tari Bedhaya Ketawang.
Tari Piring di ateh Kaco, Luambek, dan Galombang, wayang Kulit sasak di lombok yang membawakan cerita serat menak peristiwa-peristiwa di Arab sebelum tampilnya Nabi Besar Muhamad SAW.

c.      Zaman Invasi Bangsa Barat
Pada zaman ini kerajaan-kerajaan tunduk kepada Belanda. Pada saat itu kerajaan Mataram dipecah menjadi dua yaitu kerajaan Jogjakarta dan Surakarta. Dari perpecahan itu, mengakibatkan adanya perpecahan tari Jawa menjadi gaya Jogjakarta dan gaya Surakarta. Baik gaya Jogjakarta maupun Surakarta mengalami kemajuan yang amat pesat sejak pertengahan abad XVIII dan abad XIX, yang kemudian melahirkan dua macam dramatari, yaitu wayang Wong dan Langendriya. Wayang Wong adalah dramatari dengan dialog prosa bahasa Jawa yang membawakan cerita Mahabrata dan Ramayana. Sedangkan Langendriya adalah dramatari dengan dialog nyanyian bahasa Jawa dan memakai cerita Damarwulan.
Pada zaman ini, Indonesia dijejali dengan berbagai jenis tari klasik, pada umumnya berasal dari Jawa dan Bali karena mendapatkan pengayoman yang baik dari istana, bahkan para senimannya dihidupi oleh para raja untuk memelihara dan mengembangkannya.
Masa pengaruh barat ditandainya dengan masuknya musik nasional, dan sandiwara. Dari Cina berupa alat musik cina (gambang krromong) dan tarian yang disebut Barongsai dan Rebana (alat musik) dari Arab.

d.      Zaman Pergerakan Nasional (1908-1945)
Pada Zaman ini mempunyai akibat yang baik terhadap perkembangan seni tari. Hal ini terbukti dari berbagai tari yang hanya dinikmati kaum bangsawan di Istana kemudian disebarluaskan ke kalangan masyarakat luas. Demikian pula sebaliknya, tari-tarian rakyat mendapat perhatian yang layak dari kalangan istana.
Seni Pertunjukan di Bali mengalami perkembangan pesat sejak masa pemerintahan Dalem waturenggong hingga pemerintahan raja-raja sebelumnya abad ke XX. Dramatari yang muncul dan berkembang di Bali antara lai : Gambuh, Topeng (topeng Pajegan dan topeng Panca), Arja, Wayang Wong, Wayang Kulit. Namun sebelumnya telah muncul tari untuk upacara yakni, tari Baris (Bebarisan), dan Rejang. Demikian pula muncul berbagai tema tari legong. Perkembangan tari Bali kemudian berlanjut dengan munculnya tari Kekebyaran dengan iringan gong kebyar yang mula-mula muncul di Bali Utara.
·        Ciri-ciri tarian pada zaman feodal, sebgai berikut :
- Gerak tari sudah mempunyai standar tertentu/sudah baku
- terikat pada tradisi
- Ada ikatan kaula gusti(ada aturan tutur kata dalam dramatari)
- Mengutamakan keindahan gerak (gerak imitatif dari manusia, alam, binatang)
- Mempunyai fungsi untuk tontonan/hiburan

3.      Zaman Masyarakat Modern
Zaman ini terjadi setelah kemerdekaan yang ditandai dengan bermunculan berbagai jenis tari kreasi dan kemudian lambat laun beranjak kebentuk kontemporer. Secara garis besar seni pertunjukan berkembang pesat karena seni pertunjukan menjadi cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.
Dalam pendidikan unsur-unsur barat mulai masuk dalam tari dengan menerapkan berbagai komposisi dan level gerak, diasuh oleh para seniman-seniman yang berpendidikan seni.
            Selain berbagai tema legong yang telah berkembang di Bali Selatan, di Bali Utara berkembang seni Kekebyaran yang dipelopori oleh I wayan wandres dengan tari Kebyar Legong yang kemudian disempurnakan oleh Gede Manik menjadi teri Trunajaya. Di Bali selatan Muncul I Ketut Maria yang akrab di panggil I Mario, menciptakan tari kebyar duduk, kemudian tarian ini berkembang menjadi tari terompong, dan ciptaan lainya tema percintaan adalah tari OIleg Tambulilingan. Selain itu, muncul seniman I Nyoman Kaler dari Denpasar yang menciptakan berbagai tari kreasi bebancihan yang amat populer seperti Panji Semirang, Margapati, wiranata, dan Demang Miring. Sedangkan karakter perempuan seperti tari Pengaksama, Kupu-kupu Tarum, Candra Metu, Puspawarna, dan Bayan Nginte.
·        Ciri-ciri kesenian pada zaman modern, antara lain :
- Tidak terikat pada pola-pola yang telah ada
- menekankan kebebasan pribadi
- bersifat sementara

4.       Perkembangan Seni Pertunjukan di Era Globalisasi
            Seni pertunjukan semakin berkemabang dengan sangat baik.  Di indonesia dan juga di negara-negara berkembang lainnya, fungsi Seni Pertunjukan sebagai presentasi estetis yang tumbuh subur adalah seni pertunjukan yang disajikan kepada para wisatawan.
            Seorang antropolo (J. Maquet) memberikan sebuah konsep seni pertunjukan wisata by metamorphosis yaitu : sebagai seni yang telah mengalami metamorfose ini sangat berbeda dengan seni yang diciptakan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri (art by destination). Seni Metamorfose disebut juga seni alkuturasi (art by alccuturation), karena seni pertunjukan tersebut dalam penggarapannya telah mengalami proses alkuturasi. Alkuturasi ini terjadi antara selera estetis seniman setempat dengan para wisatawan. Seni alkuturasi ini disebut “Pseudo traditional art” karena bentuknya masih mengacu pada bentuk-bentuk serta kaidah-kaidah tradisional, tetapi nilai tradisionalnya yang biasanya sakral, magis dan simbolis telah dikesampingkan atau dibuat semu.
Contoh :Barong and Kris Dance. Para penari keris yang menusuk-nusuk keris pada dada hanyalah pura-pura (mereka telah berlatih terlebih dahulu), begitu juga dengan kain putih yang dibawa Rangda tidak memiliki kekuatan magis sedikitpun, semua yang terjadi hanya semu belaka karena yang sesungguhnya dilakukan di Pura untuk upacara tertentu.
Bentuk-bentuk seni pertunjukan Jawa tradisonal yang sudah tidak berfungsi ritual lagi, misalnya Wayang Wong, Kethoprak dan sebagainya. Di Bali beberapa tarian upacara dialih fungsikan untuk seni pertunjukan wisatawan seperti pendet (yang telah di kemas ulang), Taian Cak atau Kecak, berbagai tari Sanghyang yang fungsinya untuk mengusir wabah penyakit telah dipentaskan untuk menghibur para wisatawan namun kandungan sakral, magis, dan simbolis dari aslinya telah dihilangkan (imitation).
·        Ciri-ciri seni pertunjukan yang dikemas untuk wisatawan :
1.      Tiruan dari aslinya
2.      Versi singkat dan padat
3.      Dikesampingkan nilai-nilai sakral, magis dan simbolisnya
4.      Penuh variasi
5.      Disajikan dengan menarik, dan
6.      Murah harganya menurut wisatawan.
Dilihat dari ciri-ciri tersebut dan dipadukan dengan konsep seni wisata, teori itu akan berbunyi : “Seni wisata adalah seni yang dikemas khusus untuk wisatawan, yang memiliki ciri-ciri tiruan dari aslinya, dikemas padat dan singkat, dikesampingkan nilai primernya, penuh variasi, menarik serta murah harganya.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar