“Perkembangan Seni Pertunjukan Di Indonesia”
1. Zaman Primitif
Berdasarkan
hasil penelitian para pakar seni bahwa beberapa jenis tari di indonesia yang tergolong seni
primitif adalah Gordang Sambilan dari
Batak, Topeng Hudog dari Kalimantan
Timur, dari Bali misalnya tari barong seperti
Barong Brutuk, Barong Ket, Rejang
tenganan dan berbagai Tari Sanghyang. Dari Jawa adalah tari Kuda Kepang atau Jaran
Kepan (apabila penarinya tidak sadarkan diri akan memakan beling (pecahan
kaca).
·
Ciri–ciri kesenian pada zaman primitif, antara lain :
a.
Gerakan
sangat sederhana dan lebih mengutamakan improvisasi
b.
Belum
ada iringan gamelan, untuk iringan tari dengan sorak sorai, nyanyian dan
tepukan tangan
c.
Desain
lantai lebih banyak berbentuk lingkaran
d.
Di
beberapa daerah sebagai pertunjukan jalanan (Jawa dan Bali)
e.
Dilakukan
oleh orang – orang pilihan, (contohnya : di Bali)
f.
Unsur
tak sadarkan diri (trance) dan magis
sangat kuat .
2. Zaman Masyarakat Feodal
Zaman masyarakat feodal dibagi menjadi Zaman Indonesia
Hindu, Zaman Indonesia Islam,
Zaman Invasi bangsa Barat, dan Zaman Pergerakan Indonesia. Pada Zaman ini pertumbuhan
Kebudayaan nampak bertambah baik, walaupun hasil – hasil kebudayaan tersebut
untuk kepentingan golongan tertentu dan kepentingan keagamaan. Di Samping itu
corak masyarakat dari berbagai suku pada masing – masing zaman itu juga sangat
mempengaruhi perkembangan Seni Pertunjukan (Tari) di Indonesia.
a.
Zaman
Indonesia
Hindu
Zaman ini dimulai sejak datangnya pedagang–pedagang india yang kemudian berbaur dan kawin dengan penduduk
asli Indonesia dan
melahirkan kebudayaan Indonesia Hindu yang didalamnya masih terpelihara dengan
baik unsur – unsur kebudayaan Indonesia
asli.
Satu hal yang
sangat penting pada zaman itu adalah Kehidupan Kerohanian dengan ditemukannya
peninggalan puluhan candi-candi sebagai monumen keagamaan. Salah satu seni
pertunjukan yang penting pada zaman ini adalah tari. Tari menjadi salah satu
bagian yang penting dalam upacara keagamaan yang dapat dilihat pada relief–relief
candi yang menggambarkan penari–penari yang diiringi bermacam-macam instrumen
musik.
Selain tari
khusus keagamaan, pada zaman ini ada pula tari yang difungsikan untuk
menghibur, yaitu ronggeng. Tari Ronggeng digambarkan sebagai penari wanita,
terpahat pada candi Dieng, Borobudur dan
Prambanan (abad VIII). Dalam perkembangan selanjutnya ronggeng dipelihara oleh
para bangsawan Jawa makin diperhalus hingga menjelma menjadi tari-tarian yang
bernilai artistik, seperti Gambyong, Golek dan Bondan. Sedangkan Ronggeng yang
berkembang di kalangan rakyat jelata tetap bernama ronggeng, atau dengan
sebutan lain Ledek atau tledek. Tari Ronggeng yang menari bersama penari
laki-laki yang datang dari penonton di Jawa Tengah disebut Tayub.
Pada Zaman
ini banyak sastrawan yang menggubah satra Mahabrata dan Ramayana sehingga kedua
epos tersebut telah menjadi milik Indonesia. Kedua epos ini sangat
penting bagi perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia khususnya Bali dan Jawa yang selalu menggunakan kedua epos ini
kedalam bentuk seni pertunjukan. Begitu pula dengan alat musik iringan seperti
gendang, gambang, dan suling yang telah mengiringi tari-tarian. Selain itu
berkembang pula Dramatari Wayang Wwang (Dramatari Topeng) yang memakai lakon
cerita Mahabrata dan Ramayana. Pada umumnya penari berasal dari keluarga bangsawan
dalam tembok istana.
b.
Zaman
Indonesia
Islam
Zaman ini
diawali dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra Utara pada akhir
abad XIII dan kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram di Jawa, pertumbuhan seni
pertunjukan tidak terganggu. Bahkan seringkali seni tari dan gamelan dipakai
alat daya tarik untuk mengumpulkan orang-orang agar mau mendengarkan
khotba-khotbah tentang ajaran agama Islam. Perkembangan seni tari di Jawa
Tengah pada Zaman ini nampak lebih pesat dalam masa pemerintahan Sultan agung sebagai
raja Mataram Islam.
Jenis tarian
yang muncul pada zaman ini (Jawa) adalah tari Serimpi dan Bedhaya sebagai
tarian wanita halus, tari Beksan atau wireng merupakan komposisi tari untuk
laki-laki yang menggambarkan ketangkasan berperang. Salah satu tarian sakral
yang dipelihara baik sampai sekarang dan dipentaskan pada waktu tertentu saja
serta diwarisi oleh raja-raja Sultan Agung adalah Tari Bedhaya Ketawang.
Tari Piring
di ateh Kaco, Luambek, dan Galombang, wayang Kulit sasak di lombok yang
membawakan cerita serat menak peristiwa-peristiwa di Arab sebelum tampilnya
Nabi Besar Muhamad SAW.
c.
Zaman
Invasi Bangsa Barat
Pada zaman ini kerajaan-kerajaan tunduk kepada
Belanda. Pada saat itu kerajaan Mataram dipecah menjadi dua yaitu kerajaan Jogjakarta dan Surakarta.
Dari perpecahan itu, mengakibatkan adanya perpecahan tari Jawa menjadi gaya Jogjakarta dan gaya Surakarta.
Baik gaya Jogjakarta
maupun Surakarta
mengalami kemajuan yang amat pesat sejak pertengahan abad XVIII dan abad XIX,
yang kemudian melahirkan dua macam dramatari, yaitu wayang Wong dan
Langendriya. Wayang Wong adalah dramatari dengan dialog prosa bahasa Jawa yang
membawakan cerita Mahabrata dan Ramayana. Sedangkan Langendriya adalah
dramatari dengan dialog nyanyian bahasa Jawa dan memakai cerita Damarwulan.
Pada zaman ini, Indonesia dijejali dengan berbagai
jenis tari klasik, pada umumnya berasal dari Jawa dan Bali karena mendapatkan
pengayoman yang baik dari istana, bahkan para senimannya dihidupi oleh para
raja untuk memelihara dan mengembangkannya.
Masa pengaruh barat ditandainya dengan masuknya musik
nasional, dan sandiwara. Dari Cina berupa alat musik cina (gambang krromong)
dan tarian yang disebut Barongsai dan Rebana (alat musik) dari Arab.
d.
Zaman
Pergerakan Nasional (1908-1945)
Pada Zaman
ini mempunyai akibat yang baik terhadap perkembangan seni tari. Hal ini
terbukti dari berbagai tari yang hanya dinikmati kaum bangsawan di Istana
kemudian disebarluaskan ke kalangan masyarakat luas. Demikian pula sebaliknya,
tari-tarian rakyat mendapat perhatian yang layak dari kalangan istana.
Seni Pertunjukan di Bali mengalami
perkembangan pesat sejak masa pemerintahan Dalem waturenggong hingga
pemerintahan raja-raja sebelumnya abad ke XX. Dramatari yang muncul dan
berkembang di Bali antara lai : Gambuh, Topeng
(topeng Pajegan dan topeng Panca), Arja, Wayang Wong, Wayang Kulit. Namun
sebelumnya telah muncul tari untuk upacara yakni, tari Baris (Bebarisan), dan
Rejang. Demikian pula muncul berbagai tema tari legong. Perkembangan tari Bali kemudian berlanjut dengan munculnya tari Kekebyaran
dengan iringan gong kebyar yang mula-mula muncul di Bali Utara.
·
Ciri-ciri tarian pada zaman feodal, sebgai berikut :
- Gerak tari sudah mempunyai standar tertentu/sudah baku
- terikat pada tradisi
- Ada ikatan kaula gusti(ada aturan tutur kata dalam dramatari)
- Mengutamakan keindahan gerak (gerak imitatif dari manusia, alam,
binatang)
- Mempunyai fungsi untuk tontonan/hiburan
3. Zaman Masyarakat Modern
Zaman ini
terjadi setelah kemerdekaan yang ditandai dengan bermunculan berbagai jenis
tari kreasi dan kemudian lambat laun beranjak kebentuk kontemporer. Secara
garis besar seni pertunjukan berkembang pesat karena seni pertunjukan menjadi
cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.
Dalam
pendidikan unsur-unsur barat mulai masuk dalam tari dengan menerapkan berbagai
komposisi dan level gerak, diasuh oleh para seniman-seniman yang berpendidikan
seni.
Selain
berbagai tema legong yang telah berkembang di Bali Selatan, di Bali Utara
berkembang seni Kekebyaran yang dipelopori oleh I wayan wandres dengan tari
Kebyar Legong yang kemudian disempurnakan oleh Gede Manik menjadi teri
Trunajaya. Di Bali selatan Muncul I Ketut Maria yang akrab di panggil I Mario,
menciptakan tari kebyar duduk, kemudian tarian ini berkembang menjadi tari terompong,
dan ciptaan lainya tema percintaan adalah tari OIleg Tambulilingan. Selain itu,
muncul seniman I Nyoman Kaler dari Denpasar yang menciptakan berbagai tari
kreasi bebancihan yang amat populer seperti Panji Semirang, Margapati,
wiranata, dan Demang Miring. Sedangkan karakter perempuan seperti tari
Pengaksama, Kupu-kupu Tarum, Candra Metu, Puspawarna, dan Bayan Nginte.
·
Ciri-ciri kesenian pada zaman modern, antara lain :
- Tidak terikat pada pola-pola yang telah ada
- menekankan kebebasan pribadi
- bersifat sementara
4. Perkembangan Seni Pertunjukan di
Era Globalisasi
Seni
pertunjukan semakin berkemabang dengan sangat baik. Di indonesia dan juga di negara-negara
berkembang lainnya, fungsi Seni Pertunjukan sebagai presentasi estetis yang
tumbuh subur adalah seni pertunjukan yang disajikan kepada para wisatawan.
Seorang
antropolo (J. Maquet) memberikan sebuah konsep seni pertunjukan wisata by metamorphosis yaitu : sebagai seni yang
telah mengalami metamorfose ini sangat berbeda dengan seni yang diciptakan
untuk kepentingan masyarakat itu sendiri (art
by destination). Seni Metamorfose disebut juga seni alkuturasi (art by alccuturation), karena seni
pertunjukan tersebut dalam penggarapannya telah mengalami proses alkuturasi.
Alkuturasi ini terjadi antara selera estetis seniman setempat dengan para
wisatawan. Seni alkuturasi ini disebut “Pseudo
traditional art” karena bentuknya masih mengacu pada bentuk-bentuk serta
kaidah-kaidah tradisional, tetapi nilai tradisionalnya yang biasanya sakral,
magis dan simbolis telah dikesampingkan atau dibuat semu.
Contoh :Barong and Kris Dance. Para penari keris yang menusuk-nusuk keris
pada dada hanyalah pura-pura (mereka telah berlatih terlebih dahulu), begitu
juga dengan kain putih yang dibawa Rangda tidak memiliki kekuatan magis
sedikitpun, semua yang terjadi hanya semu belaka karena yang sesungguhnya
dilakukan di Pura untuk upacara tertentu.
Bentuk-bentuk
seni pertunjukan Jawa tradisonal yang sudah tidak berfungsi ritual lagi,
misalnya Wayang Wong, Kethoprak dan sebagainya. Di Bali beberapa tarian upacara
dialih fungsikan untuk seni pertunjukan wisatawan seperti pendet (yang telah di
kemas ulang), Taian Cak atau Kecak, berbagai tari Sanghyang yang fungsinya
untuk mengusir wabah penyakit telah dipentaskan untuk menghibur para wisatawan
namun kandungan sakral, magis, dan simbolis dari aslinya telah dihilangkan (imitation).
·
Ciri-ciri seni pertunjukan yang dikemas untuk wisatawan :
1.
Tiruan
dari aslinya
2.
Versi
singkat dan padat
3.
Dikesampingkan
nilai-nilai sakral, magis dan simbolisnya
4.
Penuh
variasi
5.
Disajikan
dengan menarik, dan
6.
Murah
harganya menurut wisatawan.
Dilihat dari
ciri-ciri tersebut dan dipadukan dengan konsep seni wisata, teori itu akan
berbunyi : “Seni wisata adalah seni yang dikemas khusus untuk wisatawan, yang
memiliki ciri-ciri tiruan dari aslinya, dikemas padat dan singkat,
dikesampingkan nilai primernya, penuh variasi, menarik serta murah harganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar