Rabu, 31 Oktober 2012

tata cahaya



TATA CAHAYA

 Fungsi Tata Cahaya
Secara umum, tata cahaya berfungsi untuk membentuk situasi, menyinari  gerak pelaku, dan mempertajam ekspresi demi penciptaan karakter pelaku. Dengan demikian, imajinasi publik ke situasi tertentu, yang tragis, yang sublim, yang lepas dari dunia keseharian atau spesifik iluminasi.
Secara khusus, tata cahaya dapat berfungsi untuk
  1. mengadakan pilihan bagi segala hal yang diperlihatkan
Hal yang sangat penting bagi cahaya lampu adalah dapat berperan di atas panggung untuk membiarkan penonton dapat melihat dengan enak dan jelas. Apa yang terlihat akan bergantung pada sejumlah penerangan, ukuran objek yang tersorot cahaya, sejumlah cahaya pantulan objek, kontrasnya dengan latar belakang, dan jarak objek dan pengamatnya.
  1. mengungkapkan bentuk
Jika sebuah pementasan lakon disoroti dengan cahaya lampu biasa, maka para pemeran, dan peralatan (properti), dan semua bagian dari skeneri akan nampak datar atau flat, tidak menarik. Di sini tidak nampak sinar tajam (high-light), tidak ada bayangan, dan monoton. Agar objek yang terkena cahaya nampak dengan bentuk yang wajar, maka penyebaran sinar harus memiliki tinggi-rendah derajat pencahayaan yang memberikan keanekaragaman hasil perbedaan tinggi-rendahnya derajat pencahayaan itu.
Pengungkapan bentuk pada hakikatnya disempurnakan oleh pencahayaan. Sudut datang cahaya dan arah cahaya lampu khusus, harus diramu bersama dengan hati-hati sehingga menghasilkan pencahayaan yang seimbang hingga ada pembeda antara keremangan dan bayangan. Kontras dan keanekaragaman warna juga merupakan bagian-bagian yang harus dapat dibedakan sehingga dapat memikiat perhatian penonton.

  1. membuat gambar wajar
Di dalam fungsi ini, juga termasuk cahaya lampu tiruan yang menciptakan gambaran cahaya wajar yang memberi petunjuk terhadap waktu sehari-hari, waktu setempat, dan musim.
  1. membuat komposisi
Membuat komposisi dengan cahaya adalah sama dengan menggunakan cahaya sebagai elemen rancangan. Hal ini terkait dengan kebutuhan skeneri, objek mana yang harus disorot dengan intensitas yang rendah/tinggi hingga berkomposisi bagus, pola-pola bayangan juga harus diperhatikan.
  1. menciptakan suasana (hati/jiwa)
Dengan pengaturan cahaya diharapkan dapat menciptakan suasana termasuk adanya perasaan atau efek kejiwaan yang diciptakan oleh pemeran dengan didukung oleh cahaya.

Macam-macam Lampu
Lampu tidak dapat berdiri sendiri dalam tata cahaya, melainkan wajib hukumnya untuk berpadu dengan listrik, kabel sebagai penghantar listrik, holder sebagai rumah lampu, dan dimmer sebagai pengontrol lampu.
Secara umum, terdapat tiga macam lampu, yaitu
  1. lampu cahaya umum: jenis-jenis lampu biasa, lampu kerja, dan lampu “flood”
  2. lampu cahaya khusus: jenis-jenis lampu spot, seperti “ellipsoidal”, “lekolites”, “spherical”, dan “mirror”
  3. lampu cahaya campuran: jenis-jenis lampu strip, seperti lampi border, lampu kaki, lampu “backing”, lampu siklorama


Tiga macam lampu itu memiliki sifatnya masing-masing. Lampu cahaya memiliki sifat cahaya yang memencar, disebabkan oleh cahaya yang keluar dari lampu hanya dipantulkan  melalui reflektor menembus cahaya pada kaca lampu. Sedangkan pada jenis lampu khusus, cahaya yang keluar dari lampu setelah dipantulkan melalui reflektor kemudian dibiaskan melalui lensa. Pembiasan melalui lensa tersebut menyebabkan sorotan cahayanya terpadu dan keluar dengan tajam. Pada lampu campuran sifatnya seperti lampu umum, hanya setelah cahaya terpantul melalui reflektor kemudian dibiaskan melalui kaca lampu yang berwarna-warni, satu lampu satu warna, biasanya merah, hijau, putih atau amber.
Beberapa jenis-jenis lampu secara khusus dijelaskan di bawah ini.
  1. lampu cahaya umum
  2. lampu cahaya campuran (strip)
  3. lampu cahaya khusus(fresnellites)
  4. lampu cahaya khusus (lekolites) (lihat lampiran 1)
Tipe-tipe lampu menurut petunjuk ukurannya, terapat tiga tipoe lensa yang berbeda.
a.       lampu spot lensa konveks
1.      lensa 20 cm 1000-2000 watt
2.      lensa 9 cm 500-1000 watt
3.      lensa 7,5 cm 250-400 watt
b.      lampu spot lensa step (fresnell)
1.      lensa 21/24 cm 5000 watt
2.      lensa 12,5/18 cm 2000 watt
3.      lensa 12 cm 1000-2000 watt
4.      lensa 9 cm 250-750 watt
5.      4,5 cm 100 watt
c.             1. 18 cm 300-5000 watt 10-120 beam
2.      12 cm 1000-2000 watt 20-240 beam
3.      12 cm 250-750 watt 15-180 beam
4.      18 cm 250-750 watt 26-340 beam
5.      18 cm 300-5000 watt 10-450 beam (lihat lampiran)
Sarana Pengendali Lampu
Sarana pengendali lampu pada dasarnya terdapat empat hal penting, yaitu
1.      intensitas
Untuk mengendalikan cahaya lampu dari terang ke gelap atau gelap ke terang biasanya dipergunakan alat yang disebut dimmer. Dengan alat ini, masing-masing satuan lampu yang diapsang di atas pentas dapat dikendalikan mulai dari pencahayaan penuh, perlahan-lahan surut, sampai mati sama sekali, dan sebaliknya. Yang menentukan intensitas cahaya lampu pentas selain dimmmer juga kekuatan lampunya (watt-nya) dan dimensi dari perumahan lampu itu.
Seorang penata cahaya dapat mengatur intensitas paling tinggi yang diperlukan bagi masing-masing daerah panggung yang dikehendaki pencahayaannya. Tiap-tipa saluran dimmer dapat digunakan untuk memberi keseimbangan intensitas cahay tersebut dari setiap sumbernya. Secara ideal diharapkan bahwa skeneri (suasana gerak-gerik di atas pentas) setiap adegan dapat dihasilkan dari pencahayaan masing-masing sumbernya. Adegan berikutnya mungkin akan terdiri dari hasil pencahayaan yang berbeda susunan intensitasnya meskipun sering dipergunakan dalam asluran dimmer yang sama.
2.      warna
Warna juga penting peranannya sebagai alat pengendali intensitas cahaya. Di negara teklnologi maju yang telah lama menggunakan intensitas cahaya listrik sebagai alat utama cahaya panggung, pada abad XV tidak saja membedakan intensitas cahaya lampu antara komedi dan tragedi, akan tetapi juga membedakan tata wana cahayanya. Warna-warna hangat dipergunakan untuk cahaya komdei, sedangkan warna dingin dipergunakan untuk cahaya tragedi. Konsepsi warna demikian itu masih secara umum dan masih banyak dipergunakan hingga pada saat ini, namun juga banyak sekali kejutan-kejutan warna cahaya yang diciptakan secara cerdik yang menjadi tantangan.
Penggunaan warna cahaya di panggung sangat menarik oleh karena sifat-sifatnya yang unik. Di satu pihak ia memiliki sifat objektif oleh karena takarannya sudah pasti, misalnya, sumber cahayanya, kekuatan lampunya, perumahan lampunya, media atau filter (saringan) warnanya, semuanya sudah pasti. Namun, sorotan warna cahaya lampu itu ketika memantul dari benda atau pemeran yang kena sorot, pantulan warnanya yang sampai mata penonton bisa berubah.
Di lain pihak, warna memiliki sifat subjektif atau memiliki faktor psikologis karena kemauan sang sutradara yang lebih tertarik kepada pantulan warna-warna para pemeran di mata penonton. Dengan demikian, diperlukan kemahiran tersendiri bagi seorang penata cahaya untuk mengolah faktor-faktor objketif dan subjektif. Tidak saja diperlukan pengetahuan yang mendalam, akan tetapi juga pengalaman yang matang untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya.
3.      distribusi
Distribusi adalah kepekatan, penyebaran, dan arah cahaya lampu. Hal ini akan berhubungan pula dengan banyak sedikitnya jumlah lampu, banyak sedikitnya jummla tipe-tipe peralatan lampu, dan penempatan kedudukan lampu itu. Kualitas distribusi cahaya lampu teristimewa diberikan oleh masing-masing tipe peralatannya (lampu cahaya khusus atau lampu cahaya umum), besar kecilnya cahaya ditentukan oleh penggunaan dimmer, tajam atau lembutnya garis cahaya tergantung dari sudut datangnya cahaya ke sasaran, dan lain sebagainya. Masing-masing peralatan bergantung dari tipenya membentuk berbagai efek pencahayaan. Tempat kedudukan lampu-lampu itu terarah menurut kemamuan penata cahaya berdasarkan atas plot cahaya (light plot). Cahaya cerah diarahkan ke sana, cahaya redup di arahkan kemari, dan seterusnya yang semuanya diarahkan dan disusun menuju sasaran platis dan komposisi yang berefek visual.


Ada tiga perangkat pengendali distribusi cahaya lampu yang saling berhubungan, yaitu
1.      perangkat pengendali lampu umum yang menghasilkan cahaya yang memencar
2.      perangkat pengendali lampu khusus yang memiliki cahaya mengempal, dan
3.      perangkat pengendali yang berada pada berbagai warna cahaya yang tersorot ke permukaan objek yang sama.
Fakta membuktikan bahwa skeneri, kostum, peralatan, dan bahkan tata rias para pemeran memiliki berbagai kemampuan menyerap danm memantulkan cahaya lampu yang perlu dipertimbangkan. Hal ini sangat penting untuk diperhitungkan dalam distribusi cahaya dalam sebuah peemntasan. Bahkan seorang pemeran yang bergerak di atas pentas dapat merubahj distribusi cahaya apabila tidak diperhitungkan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh segenap tubuh, kostum, dan peralatan yang dibawanya aadalah pemantul cahaya seperti halnya bagian set yang lain.

4.      gerakan
Sarana pengendali lampu yang terakhir adalah gerakan, yaitu perubahan satu atau lebih kualitas cahaya. Gerakan cahaya lampu ini bisa terjadi oleh karena beberapa hal. Gerakan cahaya lampu ini bisa terjadi oleh karena beberapa hal. Gerakan cahaya lampu yang sengaja digerakkan oleh awak panggung (manual) untuk mengikuti gerakan pemeran (biasanya disebut follow spot). Kemudian ada gerakan cahaya lampu yang diatur secara mekanis (banyak digunakan lampu disko). Di samping itu, ada pula gerakan cahaya lampu meremang (dim turun) dan emnerang (dim naik), yaitu kecenderungan pengaturan gerakan cahaya lampu melalui alat dimmer yang penanganannya hanya dapat dimungkinkan melalui induk mekanis atau alat elektris. Hanya dengan alat elektronis modern, hal ini bisa dilaksanakan dengan baik. Satu orang operator pengendali lampu (manual) dapat menangani tidak lebih dari tiga atau empat bilah tahanan (resistensi) atau autotransformer yang terdapat pada tangan-tangan (handle) dimmer dan itupun terletak dalam kelompok yang berdekatan. Gerakan cahaya pada saat pertunjukan sedang berjalan harus dikerjakan dengan cermat. Apabila tidak, dikhawatirkan akan menyesatkan dan luput dari nilai-nilai dramatik yang akan dicapai.
Selain itu, ruang operator lampu dengan orang yang mengendalikan lampu harus memiliki pandnagan penuh ke atas panggung. Dengan demikia, ia dapat mengoordinasikan gerakan-gerakan cahaya atau perubahan cahaya dengan gerak-geriknya. Gerakan cahaya lampu akan memberikan kualitas dinamis cahaya berbagai lakon apabila ia mengikuti pola-pola komposisi yang bagus yang dibuat berdasarkan nilai rasa puisi, musik, visual, serta kadar pertunjukkan (rasa teater).
Langkah-langkah Pemasangan Lampu
1.      Sebelum memasang lampu, harus memahami dulu skenario dari drama yang akan dipentaskan. Setelah paham, maka akan diperoleh gerakan-gerakan panggung. Dengan demikian dapat diketahui daerah-daerah yang dipakai dalam pementasan tersebut.
2.      Buatlah sketsa pergerakan para aktor dari skenario yang akan dipentaskan!
3.      Tentukan plot cahaya dari fokus daerah-daerah yang dipakai.
4.      Pilihlah warna-warna dari lampu sesuai dengan kebutuhan skenario.
5.      Setelah itu, buatlah desain tata letak lampu berikut aliran listrik melalui kabel, termasuk paralel atau serinya.
6.      Cek lampu yang akan digunakan berikut holder dan kabelnya. Pastikan semuanya dalam kondisi yang bagus. Jangan mengecek lampu dalam keadaan terpasang di atas panggung. Sebaiknya cek di bawah panggung.
7.      Setelah semuanya dalam kondisi yang pasti, naikkan lampu dan fokuskan.
8.      Perhitungkan juga skenerinya sehingga dalam penajaman atau peremangan cahaya dapat menghasilkan sesuai dengan kondisi dramatis yang diinginkan sutradara.
9.      Cobalah dengan bayangan para pemeran berikut propertinya sehingga dapat diketahui suasana dramatisnya sesuai dengan arahan sutradara.
10.  Lakukan gladi sebelum pementasan dimulai. Evaluasi dan perbaikilah. Selamat mencoba!

Senin, 29 Oktober 2012

Tinta Estetis: pengertian seni

Tinta Estetis: pengertian seni: Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Pengertian Seni, memiliki tiga arti antara lain: a. Seni diartikan halus, kecil dan halus, tipis, ...

Minggu, 21 Oktober 2012

klasifikasi tari bali


Tari bali merupakan bagian organik dari masyarakat pendukungnya dan perwatakan dari masyarakatnya tercermin dalam tari. (I Made Bandem, 1983). Menurut struktur masyarakatnya, seni tari bali dapat dibagi menjadi 3 (Tiga) periode yaitu:
1. Periode Masyarakat Primitif (Pra-Hindu) (20.000 S.M-400 M)
2. Periode Masyarakat Feodal (400 M-1945)
3. Periode Masyarakat modern (sejak tahun 1945)


Masyarakat Primitif (Pra-Hindu)
Pada zaman Pra-Hindu kehidupan orang-orang di Bali dipengaruhi oleh keadaan alam sekitarnya. Ritme alam mempengaruhi ritme kehidupan mereka. Tari-tarian meraka menirukan gerak-gerak alam sekitarnya seperti alunan ombak, pohon ditiup angin, gerak-gerak binatang dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk gerak semacam ini sampai sekarang masih terpelihara dalam Tari Bali. Dalam zaman ini orang tidak saja bergantung kepada alam, tetapi mereka juga mengabdikan kehidupannya kepada kehidupan sepiritual. Kepercayaan mereka kepada Animisme dan Totemisme menyebabkan tari-tarian mereka bersifat penuh pengabdian, berunsurkan Trance (kerawuhan), dalam penyajian dan berfungsi sebagai penolak bala. Salah satu dari beberapa bentuk tari bali yang bersumber pada kebudayaan Pra-Hindu ialah sang hyang.

Masyarakat Feodal
Pada masyarakat feodal perkembangan Tari Bali ditandai oleh elemen kebudayaan hindu. Pengaruh hindu dibali berjalan sangat pelan-pelan. Dimulai pada abad VII yaitu pada pemerintahan raja ugra sena di Bali. Pada abad X terjadi perkawinan antara raja udayana dengan mahendradatta, ratu dari jawa timur yang dari perkawianan tersebut lahir raja airlangga yang kemudian menjadi raja di jawa timur. Sejak itu terjadi hubungan yang sangat erat antara jawa dan bali. Kebudayaan bali yang berdasarkan atas penyembahan leluhur ( animisme dan totemisme) bercampur dengan Hinduisme dan budhisme yang akhirnya menjadi kebudayaan hindu seperti yang kita lihat sekarang catatan tertua yang menyebutkan tentang berjenis-jenis seni tari ditemui di jawa tengah yaitu batu bertulis jaha yang berangka tahun 840 Masehi. Pada zaman Feodal tari berkembang di istana, berkembang juga dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kepentingan agama yang tidak pernah absen dari tari dan musik.

Masyarakat Modern
Didalam masyarakat modern yang dimulai sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, patromisasi dari kerajaan-kerajaan di zaman Feodal mulai berkurang. Pada masa ini banyak diciptakan kreasi-kreasi baru, walaupun kreasi baru itu masih berlandaskan kepada nilai tradisional; yaitu hanya perobahan komposisi dan interpretasi lagu kedalam gerak.

Pengertian Tari
Tari merupakan ungkapan perasaan manusia yang dinyatakan dengan gerakan-gerakan tubuh manusia. Dari pengertian tersebut tampak dengan jelas bahwa hakekat daripada tari adalah gerak. Sehubungan dengan hal tersebut dalam buku Kamus umum Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa: “Tari adalah gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama dan biasanya diiringi dengan bunyi-bunyian (seperi musik, gamelan)”. Poerwadarminta, (1976 : 1020). Gerak-gerak dari bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu. Selanjutnya dalam buku pendidikan seni tari disebutkan bahwa “seni tari adalah ungkapan nilai-niliai keindahan dan keluhuran lewat gerak dan sikap”. (Wardhana, 1990:8)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan seni tari dalam judul skripsi ini adalah ekspresi jiwa manusia yang diwujudkan melalui gerak keseluruhan tubuh yang indah. Gerak ini ditata dengan irama lagu pengiring sesuai dengan lambang watak dan tema tari.


Dasar – Dasar Tari Bali
Secara garis besar dasar-dasar Tari Bali dibagi menjadi 3 bagian yaitu : Agem, Tandang, dan Tangkep. Djayus dalam Teori Menari Bali menyatakan dasar tari Bali adalah Agem, Tandang, dan Tangkep. Sebagai gambaran lebih jelas mengenai aspek dasar tari Bali akan dijelaskan sebagai berikut :
Agem adalah, sikap pokok yang mengandung suatu maksud tertentu yaitu suatu gerak pokok yang tidak berubah-ubah dari satu sikap pokok ke sikap pokok yang lain.Agem terdiri dari bermacam-macam bentuk misalnya, mungkah lawang, ngerajasinga, nepuk kampuh, ngeteg-pinggel, dan lain-lain.Tandang adalah cara memindahkan suatu gerakan pokok kegerakan pokok yang lain, sehingga menjadi satu rangkaian gerak yang bersambungan. Tandang terdiri dari : Abah yaitu perpindahan gerak kaki menurut komposisi tari; dan tangkis yaitu perkembangan tangan seperti luknagasatru, nerudut dan ngelimat.Tangkep adalah mimik yang memancarkan penjiwaan tari yaitu suatu ekspresi yang timbul melalui cahaya muka.Tangkep terdiri dari beberapa macam, misalnya : luru, yaitu rasa gembira yang luar biasa yang diwujudkan dengan mimik; encahcerunggu, perubahan dari suatu mimik kemimik yang lain, dan maniscerungu, adalah senyum sambil mendelikan mata. Tangkep itu adalah sangat menentukan kematangan tari tanpa penjiwaan, tari tidak tampak hidup.Demikianlah agem, tandang dan tangkep merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah – pisahkan. Syarat – syarat kesempurnaan suatu tarian sudah tercakup di dalamnya.
Ketiga faktor tersebut di atas mempunyai makna kesatuan antara wiraga, wirasa dan wirama demi kesempurnaan tari Bali.

KLASIFIKASI TARI BALI
Berdasarkan jenisnya tari Bali dapat diklasifikasikan menjadi 4 yaitu: 1) jenis tari menurut fungsinya, 2) jenis tari menurut koreografinya, 3) jenis tari menurut cara penyajiannya, 4) jenis tari menurut tema atau isinya.
*Jenis Tari Menurut Fungsinya
Tari Wali adalah salah satu aspek terpenting dari kesenian Bali yang mempunyai fungsi amat penting terutama di dalam kehidupan spiritual masyarakat Hindu-Bali. Kesenian yang diperkirakan oleh para ahli sebagai sebagai kelompok tarian yang paling tua ini, jika dibandingkan dengan tarian-tarian bali lainnya, seperti tari Babali dan balih-blihan. Tari Wali meliputi sejumlah tarian sakral yang hingga saat ini masih tetapdipertahankan oleh warga masyarakat.
Tari Wal adalah jenis seni tari yang berfungsi untuk mengikuti proses pelaksanaan upacara keagamaan. Seni Tari Wali termasuk kelompok seni yang bersifat sakral, sering juga disebut dengan istilah seni Wali. Salah satu ciri dari seni ini adalah dipentaskan bersamaan dengan berlangsungnya pelaksanaan upacar di pura. Seni tari Wali tidak mengungkapkan atau mengandung cerita, namun bersifat simbolis dan bernilai religius.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukan bahwa didesa-desa di seluruh Bali terdapat beraneka ragam tarian wali. Kalaupun ada sejumlah tarian yang sudah semakin jarang dilepaskan, ini bukan berarti bahwa kesenian tersebut telah musnah. Para pelaku dan para narasumber dari kesenian ini masih cukup banyak adanya, begitu juga pelengkapan pertunjukannya (Topeng, busana, alat-alat gamelan) masih disimpan baik oleh warga masyarakat pendukung dari kesenian yang bersangkutan. Yang terpenting adalah masih adanya perhatian yang lebih dari kalangan generasi muda terhadap kesenian ini yang terlihat melalui partisipasi mereka yang cukup tinggi dalam membawakan kesenian ini.
Sementara bentuk dan ragam tari Wali begitu banyaknya, begitu pula adanya gaya yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan lainnya, pandangan dan pemahaman masyarakat trhadap kesenian ini masih sangat beragam. Kemudian, dalam beberapa dekade terakhir ini, di banyak tempat terdapat sejumlah kesenian Wali yang sudah mengalami perubahann fungsi. Misalnya dari sajian upacara keagamaan ke sajian untuk turist. Kondisi seperti ini tentu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akibatnya akan merugikan pertumbuhan serta masa depan dari kesenian Wali itu sendiri dan kesenian bali pada umumnya. Oleh sebab itu, penulisan naskah tari-tarian wali harus diadakan.
Patut dicatat bahwa semenjak diadakannya Seminar Seni dan Profan dalam Bidang Tari oleh pemerintah Daerah Tingkat I Bali pada tahun 1971 yang lalu di Denpasar, telah terbit beberapa tulisan mengenai tari Bali. Tiga tulisan penting yang menguraikan prihal tari Wali adalah buku “Perkembangan Seni Tari di Bali (Dibia 1977), Kaja and Kelod Balinese Dance InTransition (Bandem 1981), dan Cudamani Tari Wali (Putra 1980). Namun demikian, diantara tulisan-tulisan yang telah terbit hanya sebagian yang secara mengkhusus membahas tentang Tari Wali atau membahas Tarian-tarian upacara ini secara lengkap.

.Tari Wali juga dibagi menjadi beberapa bagian sesuai fungsinya yang dibagi dalam Panca Yajna:
  1. Dewa Yadnya
    1. Topeng Pajegan (Topeng Sidhakarya)
    2. Wayang Lemah/ wayang upacara/ wayang sudhamala.
    3. Rejang (dengan berbagai variasi).
    4. Sutri.
    5. Gabor.
    6. Sanghyang Dedari
    7. Sanghyang Topeng
    8. Abuang (mabuang).
    9. Brutuk
    10. Baris Gede (dengan berbagai variasinya)
    11. Mresi
    12. Sraman.
    13. Gebug Ende
    14. Barong (dengan berbagai variasinya).
    15. Deha Malon.
    16. Gambuh.
    17. Wayang Wong.
    18. Pendet.
    19. Ngangap.
    20. Mekincang- kincung.
    21. Sandaran (Telek).
  2. Resi Yadnya
    1. Topeng Pajegan.
    2. Wayang Lemah.
    3. Barong Ket.
    4. Gambuh.
  3. Pitra Yadnya.
    1. Baris Poleng (Ketekok Jago)
    2. Baris Dadap
    3. Topeng Pajegan (Topeng Panca, Prembon).
  4. Manusa Yadnya.
    1. Wayang Sapuleger.
    2. Wayang Lemah.
    3. Topeng Pajegan.
    4. Joged Leko.
    5. Barong.
    6. Topeng Panca.
  5. Bhuta Yadnya.
    1. Sanghyang Celeng.
    2. Sanghyang Memedi.
    3. Sanghyang Bojog.
    4. Sanghyang Jaran.
    5. Barong Kedingkling.

Seni tari Bebali/ceremonial dance, adalah seni tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara/upakara di Pura-pura atau di luar pura pada umumnya memakai lakon, contohnya Drama Tari, Topeng, Arja.
Seni tari Bali-balian (secular dance), adalah segala tari yang mempunyai unsur dan dasar tari dari seni tari yang luhur yang tidak tergolong tari wali ataupun tari bebali serta mempunyai fungsi sebagai seni serius dan seni hiburan. Contohnya, tari Legong Keraton, tari Joged (Bandem, 1991),Sedangkan dalam buku pengantar pengetahuan tari menyatakan bahwa tari menurut fungsinya dibagi menjadi 3 yaitu:
  1. Tari Pura (Tari Wali), pada mulanya dalam serangkaian upacara di Pura Tari Upacara adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kronologis upacara-upacara tersebut. Tarian ini biasa diadakan pada karya (piodalan besar di Pura). Tarian ini dilaksanakan sejak mulai sampai berakhirnya upacara dengan gerak-gerik ritmis yang simbiolis meskipun belum boleh dikatakan tari sepenuhnya tetapi sudah mengarah kepada bentuk-bentuk tari harus dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Contohnya: Tari Rejang, dan Tari Pendet.
  1. Tari Ritual (Tari Bebali), tari yang erat hubungannya dengan upacara adat yang mengharapkan keselamatan dalam hidup dan kehidupan. Contohnya: Tari baris, Tari Sanghyang, Tari Barong.
  1. Tari Hiburan (pergaulan), sesuai dengan fungsinya, tarian ini adalah sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa sukaria, rasa gembira, dan untuk pergaulan. Pada umumnya tarian ini di Bali ditarikan oleh wanita, tetapi ada pula yang ditarikan oleh pria, namun melukiskan peran wanita. Cetusan rasa gembira merupakan pergaulan antara pria dan wanita. Contohnya: Joged Bumbung, dan Tari Leko.

Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut fungsinya tari dibedakan menjadi tiga yaitu: Tari Wali merupakan tarian sakral yang hanya ditarikan di tempat-tempat suci, Tari Bebali, yang masih ada hubungannya dengan upacara adat baik di Pura maupun di luar Pura yang sudah memakai lakon, tari Bali-balian, tarian yang sudah mengandung unsur seni dan hiburan.
Jenis Tari Menurut Koreografi (Pencipta/Penggubah)
Artika dalam bukunya Pendidikan Seni Tari menyatakan, jenis-jenis tari menurut koreografinya dapat dibagi 3 yaitu:
  1. Tarian Rakyat, adalah tarian yang sudah mengalami perkembangan masyarakat primitif sampai sekarang. Tarian ini sangat sederhana dan tidak begitu mengindahkan norma-norma keindahan dan bentuk yang standar. Pada zaman masyarakat primitif tarian ini merupakan Tarian Sakral yang mengandung magis. Gerak-gerik tariannya sangat sederhana karena yang dipentingkan adalah keyakinan yang terletak di belakang tarian tersebut., contohnya tarian meminta hujan, tarian untuk mempengaruhi binatang buruan. Tarian di Indonesia yang berpijak Tarian Primitif misalnya Tari Sanghyang, Tari Barong, dan sebagainya. Sedangakan yang masih merupakan ungkapan kehidupan rakyat yang pada umumnya merupakan tari gembira atau tarian pergaulan/sosial misalnya tari joged.
  1. Tari Klasik, adalah tari yang semula berkembang dikalangan Raja dan bangsawan yang telah mencapai kristalisasi artistik yang tinggi sehingga memiliki nilai tradisional. Tari klasik merupakan tarian dipelihara di istana raja-raja dan bangsawan yang telah mendapat pemeliharaan yang baik sekali bahkan sampai terjadi adanya standarisasi di dalam koreografinya.
  1. Tari Kreasi Baru, adalah tarian yang sudah diberi pola garapan baru, tidak lagi terikat kepada pola-pola yang telah ada dan lebih menginginkan kebebasan dalam hal ungkapan meskipun sering gerakannya berbau tradisi.
Jenis Tari menurut Cara Penyajiannya
Djayus (1979:11) menyatakan jenis tari menurut penyajiannya dibagi 3 yaitu:
  1. Tari Tunggal, adalah tarian yang ditarikan oleh satu orang.
  2. Tari duet, adalah tarian yang ditarikan oleh dua orang.
  3. Tari massal, adalah tarian yang ditarikan oleh banyak orang.
Sedangkan Artika menyatakan untuk penyajian tari ada 3 yaitu:
  1. Tari Tunggal, adalah tari pertunjukan yang hanya ditarikan oleh satu orang penari.
  2. Tari berpasangan/Tari Duet, adalah tarian yang dilakukan oleh dua peran, diantara peran yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi atau ada kaitan yang erat di dalam koreografinya baik berpasangan sejenis maupun berpasangan tidak sejenis.
  3. Tari Kelompok/Massal, adalah tarian ini bisa juga disebut drama taro karena selain diuraikan banyak orang juga membawakan suatu cerita lengkap atau sebagian.

Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tari menurut penyajiannya dapat dibagi 3 yaitu: 1) Tari Tunggal (dibawakan satu orang) 2) Tari Berpasangan (dibawakan oleh dua orang peran, dimana peran yang satu dengan lain saling melengkapi), 3) Tari Massal tarian yang dibawakan oleh banyak orang, juga bisa membawakan suatu cerita lengkap atau sebagian yang disebut Drama tari.
Jenis Tari Menurut Cara Isi/Temanya
Bandem (1983:22) menyatakan jenis tari menurut isi dapat dibagi 4 yaitu:
  1. Tari Panthomin, yaitu tarian yang menirukan gerak-gerik dari objek yang terdapat diluar diri manusia.
  2. Tari Erotik, adalah tarian yang mengandung isi yang erotis atau percintaan.
3. Tari Eroik/Tari Kepahlawanan, yaitu tarian yang mempunyai latar belakang penghindaran terhadap penderitaan (Tari Barong) dan tarian Perang (Tari Baris).
  1. Drama Tari yaitu tarian yang membawakan suatu cerita biasanya ada yang berdialog dan ada yang tidak memakai dialog.